Cerpen : Bersahabat Dengan Hantu

ads
Jam sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku kembali memasuki gang sepi ini. Gang dengan tembok tinggi dan penerangannya sangat kurang. Cahaya rembulan menyelinap dalam keremangan yang mencekam. Aku berbelok di tikungan. Suasana sepi dan temaram tetap membuntutiku. Aku duduk bersandar pada dinding yang coreng-moreng oleh grafiti aneh. Aku membetulkan tali sepatuku.

Di sudut tikungan terdapat dinding belakang sebuah rumah tua yang kini terhampar di depanku. Saat aku memalingkan kepalaku ke atas, jantungku tersentak hingga nyaris meletus. Di atas dinding yang tinggi itu terdapat jendela reot yang bermandikan cahaya rembulan. Seorang gadis mematung di jendela itu. Dia dikelilingi kabut tipis yang mengambang di sekitar jendela itu. Wajahnya putih pucat dengan sepasang mata yang dikelilingi garis hitam dan merah. Rambutnya tak berkibar meski angin berhembus kencang hingga membuatku mempererat jaketku. Langit menjadi lebih gelap saat bulan tertutup awan. Bibir gadis itu pucat. Tangannya kurus. Matanya memarcarkan kegelisahan. Mungkin kesedihan telah menyengsarakan dia.

Dia terus menatap langit dengan tatapan mata kosong. Seperti mengamati sesuatu di langit, tapi di langit tak ada apa-apa kecuali bulan yang tanggung. Dia sama sekali tak bergerak. Seperti menunggu sesuatu.
“Hai, kamu siapa? Boleh kita berkenalan? Namaku Irvin. Siapa namamu?” Aku berteriak. Tak ada jawaban. Hanya ada suara kucing yang menumpahkan isi tong sampah di sampingku.
“Hai, kamu yang di jendela! Aku ingin tahu tentang kamu. Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu di situ? Umurku 15 dan kurasa kita seumuran. Kita bisa berbagi cerita. Aku ingin bersahabat denganmu!” Aku melambaikan tangan. Teriakanku menggema di antara dinding-dinding ini. Tak ada jawaban. Bahkan dia tetap tak bergerak. Namun aku menangkap ada aliran air mata di pipinya.
Gadis aneh, pikirku. Misterius, membuatku semakin penasaran saja. Sejak aku bekerja di toko rangkaian bunga milik nona Lin, aku selalu pulang malam. Dan aku selalu melewati jalan ini. Tapi baru malam ini aku melihat dia.
Sampai di rumah kubuang kepenatan dengan mandi sambil memikirkan gadis itu. Siapa dia? Apa yang dia lakukan? Dan mengapa dia disitu? Hah, tiba-tiba ada banyak tanda tanya yang masuk dalam pikiranku.

Selesai mandi aku berniat mengerjakan tugas sekolahku. Tapi pandangan ekor mataku jatuh pada sepucuk surat di meja belajarku. Terbungkus kertas kumal yang sudah kekuningan. Dari siapa? Dan mengapa ada di sini? Aku membuka surat itu perlahan-lahan
Hai Irvin, namaku Melisa. Entahlah, tak pernah ada yang memberiku nama. Aku sendiri yang memberi nama pada diriku. Aku hanya tahu saat lahir ada kalung berbentuk huruf M di leherku. Hanya pada cahaya kuning rembulan kutitipkan kepiluanku dan setengah bayangku. Tapi malam ini bulan bercahaya ragu.Belasan tahun aku menanti orang sebagai tempatku sandarkan kesepian ini. Belasan tahun aku mekangkah mencari sesorang yang mengisi lubang di hati. Belasan tahun aku terbuang dan tersisih di tepi dunia. Menunggu napas kasih dan sayang untuk membalut jiwaku. Tapi aku tak pernah mendapatkan itu. tak ada tetesan cinta yang berpendar mengisi hatiku yang hampa.

Namun malam ini kamu hadir dan ingin menjadi sahabatku. Aku merasa suaramu begitu menyentuhku. Ini seperti akhir penantian panjang. Jangan pernah berpaling dariku. Karena angin tak mampu menerbangkan kesedihanku. Genggamlah tanganku, bawa aku ke istana cinta.
Aku melempar surat itu. Jantungku bergemuruh kencang seperti kendang. Tanganku gemetar. Surat dari siapa? Aku tidak pernah mengenal perempuan bernama Melisa. Teka-teki ini semakin membuatku penasaran saja.
**

Hari ini aku pulang lebih lama karena Nona Lin mendapat banyak pesanan. Aku senang bekerja bersama Nona Lin. Beliau ramah dan meski sudah lanjut usia, beliau tetap bekerja.

Aku kembali melewati jalan kemarin. Aku bersandar di dinding penuh grafiti. Dinding yang berlumut dan bau. Jalanan sesepi kemarin. Keremangan masih menyelimuti sudut tikungan ini. Dan kutemukan gadis itu. Dia masih di situ dengan gaya yang sama seperti kemarin. Aku masih penasaran dengan perempuan itu.
“Selamat malam. Apa kamu bersekolah juga? Angin malam ini agak dingin. Sebaiknya kamu pakai jaketmu atau baju tebal,” aku menyudahi kata-kataku. Aroma aneh mulai semerbak. Kabut-kabut bertebaran tidak sebagaimana mestinya. Suara kucing mengais sampah mengganggu pendengaranku.
“Aku bekerja di toko rangkaian bunga milik nona Lin. Cukup melelahkan. Aku pulang sekolah siang, dan sore harus kerja. Tapi aku senang bekerja pada beliau. Di sekolah aku termasuk siswa yang pandai, nilai matematikaku bagus. Aku bukanlah siswa yang relijius. Tapi aku sedikit berperasaan.
Ok, kurasa aku harus pergi. Orang-orang pasti akan menganggapku gila jika melihat aku berbicara denganmu.” Aku sedikit menundukkan badan untuk memberikan salam.
Di rumah lagi-lagi aku menemukan surat. Kali ini terbungkus rapi. Kertasnya bagus dan wangi. Diikat dengan pita biru.

Terima kasih kamu kembali datang untuk temaniku dalam kesepian. Hah, kamu tidak tahu betapa kesepian selama belasan tahun itu sangat perih. Hari ini bulan tidak terlalu indah. Aku agak sedih.
Kamu suka merangkai bunga? Aku juga suka. Dalam kesendirian, aku suka merangkai bunga atau bermain piano untuk mengisi kehampaan jiwaku. Hanya itu caraku meraskan hidup yang lebih berwarna. Hanya itu caraku mengisi kesepian dalam hidupku. Aku suka keindahan. Aku suka kesempurnaan. Dan itu semua tak pernah kudapatkan seumur hidupku.
Oh, mengapa kamu bukan orang yang relijius? Kamu sangat beruntung. Kamu punya agama, kamu diajarkan tentang Tuhan. Tapi kamu mengabaikan itu. Aku tak pernah diajarkan tentang mengenal Tuhan. Hidupku semakin hampa. Aku tak kenal Tuhan. Kamu sunggu sangat beruntung.
Sampaikan salamku pada Nona Lin. Aku ingin setiap malam kamu datang dan temani aku.
Surat aneh. Aku selalu mendapatkan surat ini setelah aku berbicara dengan gadis di ujung jendela itu. Orang iseng mana yang menulis surat ini?
**

Malam itu aku kembali mencari perempuan itu. Aku membawa kamera untuk mengambil gambarnya. Aku bisa terkenal karena memiliki gambar seorang gadis misterius di rumah tua. Tapi hingga bulan meninggi, jendela itu masih belum terbuka. Aku menunggu lebih lama, masih tertutup. Gerimis mulai menyembur. Gerimis berubah jadi hujan lebat. Petir berteriak dan menjerit. Sudut gang ini semakin ditelan kegelapan, dan tiba-tiba listrik mati. Lampu-lampu padam, membuatku serasa sendirian dan terasing dalam dunia gelap.

Tiba-tiba semua serasa gelap sempurna. Aku seperti ada di ruangan tak bertepi yang hanya ada warna hitam. Aku berlari dan berteriak. Tapi bahkan aku sendiri tidak mendengar teriakanku. Darahku memanas, aku terus berlari mencari jalan keluar. Tapi gelap ini seperti telah mendekapku. Hitam, hitam, gelap. Panik, panik, lari. Lari ke mana? Tanganku lemas. Pandanganku semakin nanar. Aku…..sendirian…….dalam gelap yang membawa hawa menakutkan. Aku lelah, aku jatuh berteleken. Keringatku bertetesan. Ketakutanku semakin meledak. Kepalaku sakit. Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya di ujung pandanganku. Aku berlari sekencang yang kubisa. Saat aku melewati cahaya itu, tiba-tiba aku sudah di kamarku.
Aku mengatur napas. Kakiku tak sanggup dipakai untuk berdiri. Aku terus bergetar, seperti ada gempa kuat yang berpusat di jantungku. Aku tersungkur. Kejadian barusan sangat melekat di pikiranku.

Aku menemukan kado meja belajarku. Ah, tidak! Aku tak mau! Aku membuang kado itu dengan cara melemparnya dari atap rumahku. Tapi saat aku ke kamar, kado itu kembali lagi di meja belajarku! Aku mundur beberapa langkah. Mengamatinya penuh selidik. Aku mendekatinya dan membukanya dengan ketakutan yang bergelora.
Ternyata berisi sebuah kalung dengan huruf M yang bergelantungan, dua buah kunci besar yang berkarat, dan aku melihat menemukan rangkain bunga mawar yang masih segar. Sebuah surat terselip dalam kado itu.
Maaf, aku telah membuatmu takut. Aku hanya ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan. Kau tahu, itulah yang selama ini aku rasakan. Seperti sendirian di dalam gelap. Tak ada warna, tak ada suara. Terlalu hampa hingga seolah kudengar degub jantungku, riak aliran darahku. Dalam ruang gelap itu kubawa semua berat jiwaku, keputus asaanku, dan kepahitan hidupku. Aku inginkan secercah cahaya. Cahaya, kata yang tak pernah kumengerti karena aku tak pernah mengenalnya. Yang kutahu, cahaya adalah obat segala racun ddalam hati.

Aku memberimu bunga itu sebagai ucapan maafku. Aku takkan menyakitimu. Kamu adalah sahabat baikku. Kamu selalu ingin bertemu denganku. Terima kasih kamu telah hadir untuk mengisi kekosongan yang besar dalam diriku.Meski kamu hanya menemaniku sebentar, tapi aku merasakan kesediahan dan bebanku telah lenyap. Aku telah menemukanmu yang menghapus air mataku.
Kamu penasaran dengan rumahku? Aku memberimu dua kunci itu. Itu kunci gerbang dan pintu rumah. Temui aku di lantai tiga. Jangan membawa teman, kamera, atau senjata. Jangan sakiti aku karena aku pun tak menyakitimu.
Selesai membaca surat itu, aku merebahkan diri ke kasur. Memutar musik lembut untuk menenangkan diri. Aku mengingat-ingat kejadian-kejadian tak lazim yang tiba-tiba kualami beberapa hari ini. Aku berbicara bahkan bersahabat dengan seseorang yang tidak jelas. Dan sejak itu kejadian aneh beruntun menimpaku. Surat, kado, ruangan gelap, aaaakhhhh, aku bisa gila jika terus memikirkan ini. Cukup, aku tak mau lewat jalan itu lagi. Aku tak mau mengingat Melisa si misterius itu. Aku ingin menenangkan pikiran.

Selama beberapa hari aku berusaha tak mengingat segala hal tentang gadis itu. Tapi aku selalu terusik suara-suara aneh yang langsung berbunyi dalam hatiku.
Datanglah, dekati aku, pegang tanganku. Aku ingin kita bersahabat selamanya. Jangan lari dariku. Aku tak ingin kehilangan sahabatku.
Suara itu terus mempermainkanku. Itu membuatku merasa tertekan. Tuhan, aku ingin semua ini berakhir.
Akhirnya malam ini kuputuskan untuk memasuki rumah itu. Aku berangkat dengan membawa kunci dan senter. Ya, hanya itu. Cahaya bulan benar-benar tertelan gelap. Ketakutan mulai merayap. Dengan perlahan aku membuka gerbang rumah itu. Saat masuk halaman, aku seperti sudah ada di dunia lain. Hanya cahaya senter yang membuat mataku mengenali objek. Aku mulai merasakan ada bayangan-bayangan mengikutiku. Daun-daun kering tersapu kakiku. Bola mata patung itu serasa bergerak mengikutiku.

Dengan darah yang benar-benar panas, aku membuka pintu rumah ini. Menduga-duga hal apa yang pertama kulihat dari bagian dalam rumah ini. Hanya ada ruang-ruang kosong. Tak ada benda apapun. Lantainya sudah kuning. Pecahan atap, kotoran cicak, kotoran tikus, bangakai tikus, menjadi jalan untuk kulalui. Jantungku semakin bergemuruh. Aku melangkah perlahan-lahan. Senterku kuayun-ayunkan. Berharap tidak tiba-tiba menangkap wajah menyeramkan seperti di film.
Sayup-sayup kudengar suara piano. Aku menaiki tanggal dan mendekati asal suara. Semakin lama suara piano itu semakin kencang. Kakiku mulai lemas. Aku berjalan dengan menyeter kaki. Aku terus mendekati sebuah kamar sumber suara piano itu.
Aku menarik napas panjang, selama beberapa menit aku masih terpaku di depan pintu kamar ini. Aku merasa ketakutan ini semakin memalu hatiku. Keberanianku semakin mengerut.
Saat aku membuka pintu, janutngku seperti merosot. Tepat tiga meter di depanku………tanpa penghalang apapun……..sesosok gadis tersenyum padaku. Jemarinya dengan lihai memainkan piano. Aku tertegun. Tak tahu harus mengatakan apa. Ingin teriak tapi rahangku kaku. Ingin berlari tapi kakiku tertanam ke lantai. Napasku memburu. Darahku seperti turun seluruhnya ke lantai. Kepalaku sangat dingin.

Dia mendekatiku. Bibirku gemetar. Aku ingin muntah. Matanya menatap mataku. Dia tersenyum lembut. Dia mengulurkan tangan padaku. Aku berjabat tangan dengan dia. Saat tanganku menyentuh tangannya, tiba-tiba tubuhku melaju kencang ke belakang. Pandanganku gelap.
“Aku akan menceritakan tentang diriku,” dia berbicara denganku dengan nada halus. Kemudian tubuhku berhenti. Perlahan-lahan pandanganku cerah kembali. Aku melihat seorang pria menggendong sesosok bayi di pinggir toko. Dan Melisa mulai berserita….
**

“Baik Irvin, sekarang kita sedang jadi arwah yang menyaksikan kisah masa laluku. Aku hanya seorang bayi yang ditemukan di pinggiran toko pada suatu malam yang terbalut gerimis. Seorang pria menemukanku dengan sebuah kalung berbentuk huruf M di leherku. Pria itu menitipkanku ke sebuah panti asuhan yang tak layak. “
“Tapi panti asuhan itu tak lebih baik dari penjara. Aku hanya makan nasi yang mengering. Kamarku tak ada jendela, tak ada cahaya, tak ada angin sejuk. Lingkungannya tandus gersang, tak ada rerumputan, tak ada kebun, tak ada telaga.” Dia merangkulku.
“Aku mulai merasakan ada kekosongan dalam jiwaku. Aku inginkan taman yang hijau, aku ingin melihat langit yang cerah, aku ingin ada telaga yang menyejukkan mataku, aku ingin musim semi. Aku ingin warna, aku ingin bait-bait puisi, aku ingin alunan musik peneduh hati. Aku ingin cinta. Tapi saat aku mulai mencari cinta, aku hanya dicampakkan,” dia merangkulku semakin erat. Aku mulai merasakan kehangatan persahabatan. Air matanya mulai meleleh. Kini dia mengajakku melihat dia saat berumur 10 tahun. Anak kecil yang manis. Hatinya begitu lembut, begitu rapuh. Berusaha mengais cinta yang tak pernah dia rasakan.
“Aku mulai mencari sahabat. Tapi mereka menjauh dariku. Mereka bilang aku anak haram yang tak jelas orang tuanya. Mereka mengusirku, melempariku dengan umpatan dan kata-kata kasar. Mereka menarik rambutku, menamparku, dan tak henti-hentinya membuat anak sungai di pipiku. Mereka merusak mainanku, merobek lukisan dan puisiku. Mereka terus mengatakan aku anak haram yang berlumur dosa. Aku hanya meringkuk di ujung kamar gelap dan membiarkan diri larut dalam kepedihan. Aku tak pernah punya sahabat.”
“Saat itulah aku merasakan kerinduan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan takkan menyakitiku. Saat semua menjauh dariku, hanya Tuhan yang selalu dekat denganku. Aku rindu bertemu dengan-Nya. Aku ingin bersimpuh pada-Nya. Aku ingin menumpahkan semua kekisruhan hati ini pada-Nya. Hanya dengan mendekatkan diri pada Tuhan, celah-celah hati bisa terisi.

Tapi tak pernah ada yang mengajariku tentang Tuhan dan agama. Aku tidak bisa diterima di sekolah karena tak punya akta kelahiran. Tak pernah ada yang membuka mata hatiku untuk mengenal Tuhan. Dan itu artinya, tak ada tempat bagiku untuk menyandarkan air mata.” Aku mulai merasa iba.
“Aku selalu merindukan sebuah keceriaan. Bagimu tertawa dan tersenyum adalah hal biasa hingga kamu merasa tidak perlu lagi menyukurinya. Tapi bagiku, tersenyum dan tertawa adalah dua kata yang terlalu sulit diraih. Tapi aku merasa sedikit lega saat aku mengingat Tuhan, meski aku tak mengenal Dia.”
“Saat aku berumur 12 tahun, sepasang suami istri mengadopsiku. Mereka memperlakukanku dengan baik. Si suami mengajariku bermain piano, si istri mengajariku merangkai bunga. Aku mulai merasa hatiku yang polos mulai terwarnai. Harmoni keindahan mulai memunculkan nadanya.
Tapi itu tak berlangsung lama. Ternyata mereka bekerja sebagai penyelunduk narkotika dan aku dipaksa membantu pekerjaan mereka untuk menghitung pendapatan. Jika aku menolak, aku disiksa. Aku akan dikunci di kamar selama tiga hari. Kadang empat bahkan enam hari.

Aku juga dipaksa melakukan pekerjaan rumah. Jika aku melakukan kesalahan sedikit saja, mereka memukulku dan menamparku. Aku tak pernah diberi baju baru. Jika mereka sedang mabuk, mereka bisa marah padaku meski aku tak melakukan kesalahan apapun.” Dia menundukkan kepala. Dia pejamkan mata untuk mengurangi perih di hatinya. Air matanya menetesi bumi.
“Kadang mereka pulang kerja malam hari. Dan ketika mereka pulang, mereka harus mendengar aku memainkan piano dengan nada ciptaanku sendiri. Ya, setiap hari aku harus menciptakan komposisi baru. Jika tidak, mereka akan menyakitiku.”
“Saat itulah aku semakin rindu pada Tuhan. Dalam segala keperihan hidup, aku masih yakin Tuhan mengasihiku. Setidaknya jika aku memang ditakdirkan untuk tidak bahagia di dunia, aku ingin bisa menari dan tersenyum dalam surga”
“Lalu mengapa kamu bisa berada di rumah tua itu?”Aku memberanikan diri bertanya.
“Saat aku berumur 17 tahun, pasangan suami istri itu mengalami bangkrut dan rugi miliaran rupiah. Pikiran mereka kacau. Mereka hanya mabuk-mabukkan untuk menangkan diri. Keadaan semakin buruk ketika polisi mengetahui keberadaan kami. Kami menjadi buron. Kami bersembunyi di rumah ini. Rumah ini milik saudara si suami.

Pada suatu malam yang mencekam, bulan seperti padam. Iblis mulai memainkan jemarinya. Dalam keadaan mabuk, mereka berkelahi di kamarku di lantai tiga. Aku lupa mengapa mereka berkelahi. Yang jelas malam itu kamarku penuh teriakan, suara pukulan, pecahan kaca, noda darah yang terlukis di tembok, dan bubuk narkoba yang berserakan di lantai. Aku terduduk lesu di sisi kamar, menutup telingaku serapat mungkin, dan terus histeris. Air mataku terkuras. Dalam pikiran yang menyengkarut, wanita itu melempar pisau dan langsung mengenai kepala pria itu hingga tewas. Aku menjerit sejadi-jadinya. Hatiku seperti terpecah-pecah. Wanita yang sedang depresi itu tak mampu berpikir dengan jernih. Dia mengambil pisau itu dan menusukkan ke dadanya. Aku ingin pingsan malam itu.

Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah itu mendengar huru-hara perkelahian yang terjadi. Mereka menggerebek rumah itu. Mereka menemukan dua mayat dan menemukanku yang tak bisa berkata apa-apa. Mereka mengira aku yang membunuh mereka. Aku berusaha menyelematkan diri. Aku melompat ke jendela, lupa bahwa aku berada di lantai tiga.” Dia berhenti bercerita. Tiba-tiba dia menumpahkan tangisnya ke pelukanku.
“Aku bahkan tak sempat merasakan kebahagiaan hingga aku mati. Sekarang aku ingin bahagia di surga. Tapi bagaimana bisa? Tak pernah ada cahaya agama yang terlintas padaku. Kamu beruntung, bisa mengerti agama. Keimanan adalah nikmat terbesar yang Tuhan berikan, tetapi mengapa banyak orang mendustakan itu, mengapa!?”Tangisannya meraung-raung
“Hanya sedikit dari kalian yang bersyukur dengan kebahagiaan yang kalian rasakan. Kalian diberi kesempatan luas untuk memahami agama. Tapi kalian buang kesempatan itu. Kalian tak peduli dengan agama kalian sendiri!”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku mulai merenungkan diriku. Selama ini aku merasakan punya teman, keluarga yang lengkap, dan pengetahuan di sekolah yang tak ternilai harganya. Aku tak pernah bersyukur. Sementara ada orang yang merasa semua itu mustahil di dapat. Aku mengerti perasaannya.
**

Beberapa hari kemudian Melisa masih di jendela. Aku seringkali membawa kalungnya ke toko nona Lin.
Yang mengejutkan, pagi tadi nona Lin mengamati kalung itu.
“Kalung itu…..milikku,” katanya dengan suara gemetar.
“Bukan, ini milik saya. Saya mendapatkannya dari sahabat,”
“Tidak, aku kenal betul kalung ini. Ini milik Me Yui, putriku,”
“Ibu mengenal pemilik kalung ini?”
“Dua puluh tiga tahun lalu, keadaan ekonomi keluargaku buruk, sementara anakku banyak. Jadi terpaksa kami membuang anak terakhir. Aku menyesal sekali. Ingin bertemu dengan dia,” matanya berkaca-kaca.
“Bu, aku bisa! Aku bisa mempertemukan ibu dengan dia!” Aku menarik tangan nona Lin menuju rumah di sudut gang itu. Aku ajak dia masuk dan langsung menuju kamar Melisa.
“Melisa, ini orang tuamu!” Aku berteriak. Melisa membalikkan badan. Nona Lin berkaca-kaca.
“Putriku,” mereka berlari berpelukan. Aku tahu Melisa telah merasakan hangatnya pelukan keluarga. Melisa tersenyum. Akhirnya dia merasakan cinta dan kasih sayang dari orang tua aslinya.
“Maafkan ibu. Akhirnya kita bisa bertemu,” meraka terus menumpahkan kerinduan. Bersamaan dengan itu, kesedihan Melisa larut dan terbuang bersama air matanya. Beberapa saat kemudian, arwah naik perlahan, sepetinya ini saatnya Melisa naik ke langit. Sudah saatnya Melisa pergi untuk selamanya. Urusan Melisa sudah selesai. Dia sempat memberikan senyum terakhirnya pada kami. Dia akan tenang di surga. Saat itulah aku ingat ajaran guru agamaku yang sudah kulupakan,”Tidak ada dosa dan siksa jika cahaya kebenaran belum sampai pada seseorang.”

Karya : Imaf Hanida | Twitter: @imafanita
Sumber : Sumber : http://cerpen.lokerseni.web.id/
ads

Reading your manga Cerpen : Bersahabat Dengan Hantu, If you want to distribute the above article please include source http://tetsu-kun15.blogspot.com/2014/07/cerpen-bersahabat-dengan-hantu.html, thanks for visit my blog