Pulpen Kutukan

ads
PULPEN KUTUKAN

“Nu, jangan lakuin itu, Nu!”
“Iya, Nu! Nanti gue bayarin warnet deh, gimana?”
Aku tak menghiraukan teriakan Hamas dan Enay. Langkahku dengan mantap terus menapaki tanah yang gersang menuju ujung jalan desa yang langsung menuju sebuah pertigaan yang cukup ramai, tapi sepi orang karena desa Kupret sudah lama tak berpenghuni.
Ditinggalkan penduduknya karena pulpen kutukan. Aku menyebutnya pukan. Pulpen ini pun bisa bicara. Sakti.
Dan kini, giliranku yang akan menghapus kutukan pulpen kutukan itu. Suara ocehan pukan yang cempreng tak lagi terdengar. Dia terus diam di saku kemejaku, menanti-nanti darah yang kujanjikan untuknya.
Langit sudah sangat gelap. Guntur mulai berdatangan. Kurasakan juga angin mulai meniupi pundakku, membuatku gemetar. Tapi rasa itu segera kutepis. Aku berdiri tegap di depan bertigaan tak lama setelahnya. Bunyi mobil langsung mendesing di telingaku.
“Kau sudah siap, pukan?” tanyaku.
“Kunantikan darahmu, Janu.”
***
Beberapa jam sebelumnya, di desa kupret.
Kedatanganku mengagetkan seorang sepuh yang berjaga di depan gang. Begitu aku dan kedua kawanku turun dari angkot, kakek beruban yang mengenakan pakaian serba hijau itu menghampiriku.
“Kamu mau melawan pulpen kutukan?” tanya kakek itu.
Aku mengangguk yakin.
Kakek itu mengarahkan pentungan yang dibawanya ke sebuah rumah yang tampak menyeramkan di ujung gang. Pagar kayunya tampak sudah roboh. “Kamu masuk ke rumah itu. Pulpen kutukan itu pasti langsung bicara padamu.”
Nuhun, mbah.” Hamas mendahuluiku berterima kasih. Akhirnya kami bertiga menyusuri desa yang tak berpenghuni itu.
Enay melihat-lihat pepohonan yang tampak tinggi dan menyeramkan. “Nu, lu yakin?”
“Iya, Nu. Gue aja serem ngeliat pohonnya. Gue nggak mau masuk ke rumah itu. Lu aja yang masuk, oke?” Hamas juga terdengar ketakutan.
“Duh, gue kebelet...” Enay memegangi selangkangannya sambil berjingjit. Dia pun lari ke tempat kakek tadi. “Gue nyari wc dulu!”
Hamas terlihat makin kikuk. “Waduh, si Enay pake kabur lagi... Gue juga ikut kebelet deh. Ati-ati ye, Nu. Woy, Nay! Tunggu!” Hamas pun ikut berlari.
“Dasar penakut lu berdua,” gumamku.
Kulanjutkan langkahku semakin dekat, bahkan kini aku berdiri di depan rumah bernomor satu itu. Pohon mangga tinggi tumbuh di kedua sisi rumah. Rumput liar pun memenuhi halaman, menghilangkan jalan setapak menuju rumah. Pagar kayunya roboh.
Aku tidak takut. Hatiku sudah yakin, kalau inilah cara yang tepat bagiku.
Janu, anak sebatang kara yang hidup miskin, wajah pas-pasanku menjadikanku jomblo. Dan kejombloanku itulah yang membuatku berada di tempat ini.
Aku mengetahui tentang Pukan dari Enay. Katanya, Pukan dulunya pulpen kesayangan milik seorang penulis kaya raya yang bunuh diri gara-gara istrinya selingkuh. Nah, si Pukan inilah yang dijadikan alat bunuh diri. Cara si penulis bunuh diri itu *sensor*.
Setelah itu, arwah si penulis gentayangan di rumah yang kini di hadapanku. Kabarnya, Pukan sempat digunakan anaknya.
Keanehan berawal saat tangan si anak tiba-tiba tertusuk pulpen. Darahnya mengenai Pukan. Sejak saat itulah Pukan bisa bicara.
Setelah itu, banyak korban yang berjatuhan. Mulai dari luka ringan, sampai meninggal. Korbannya mulai dari anak-anak sampai nenek-nenek. Entahlah, aku sendiri bingung untuk apa si nenek menggunakan Pukan.
Tapi, sejak kasus terakhir yang terjadi tiga bulan lalu, Pukan mengatakan kalau dia akan mengabulkan keinginan orang yang bisa memberinya darah sekaligus membuat si Pukan senang. Katanya, itu permintaan terakhirnya sebelum pergi.
Untuk itulah aku kini membuka pintu rumah si Pukan itu.
Suasananya seram. Lantainya kotor dan bau busuk. Hawanya dingin, serta ruangannya gelap. Tapi di tengah-tengahnya ada cahaya merah yang menyala. Itu Pukan.
“Apa kamu datang untuk memenuhi keinginanku?” suara Pukan ternyata cempreng.
“Ya.”
“Kalau begitu, aku akan membiarkanmu melaksanakannya.”
Pukan tiba-tiba saja terbang ke saku kemejaku. Tapi baru beberapa detik, ia langsung protes padaku.
“Kenapa kemejamu bau sekali, anak muda?”
“Aku miskin. Ini kemejaku satu-satunya yang belum kucuci selama satu bulan. Mohon maaf.”
“Aah, baiklah. Jadi, kamu akan membawaku kemana?”
“Pertigaan.”
“Kamu mau bunuh diri?!”
Aku tak menjawabnya.
***
Dan begitulah asal muasal hingga aku sampai di pertigaan ini.
Sudah beberapa menit berlalu. Banyak warga yang ikut melihat ‘aksi’ku ini. Sebagian besar mereka adalah penduduk desa kupret. Enay dan Hamas terus berusaha mencegahku, tapi mereka ditahan beberapa warga yang ingin desanya kembali.
“Nu, lu ga usah bunuh diri juga!”
“Boong, ga apa-apa, Nu. Maju terus!” komentar warga yang menahan Enay.
“Na-Nu-Na-Nu, sok kenal lu. Emang gue Anu lu!” jawabku kesal.
Angin makin kencang berhembus. Lalu lintas pun semakin ramai, karena hari makin sore. Aku masih tetap berdiri menghadap pertigaan, kira-kira dua meter dari rambu dilarang berhenti. Aku masih menanti.
“Hei, kenapa lama sekali?” tanya Pukan sebal.
“Tunggu sebentar.”
Sraang Sraaang Sraang
Mobil terus melaju dengan cepat. Padahal dulunya ini pertigaan, tapi kini hanya jalan dua jalur karena dari desa kupret sudah tak ada aktivitas.
Aku menggerutu dalam hati, kenapa lama sekali?
Kulihat kejauhan sebuah motor sport hitam melaju cukup kencang. Pengemudinya seseorang mengenakan jaket kulit hitam serta helm hijau, sementara di belakangnya seorang perempuan dengan rok pendek tampak memeluk lelaki itu. Aah, aku iri. Sangat iri. Tapi, inilah yang kutunggu!
Ketika motor itu melewat di hadapanku, kurasakan angin berhembus cukup kencang. Seolah dunia menjadi slow motion, dalam waktu yang sepersekian detik itu, kulihat rok perempuan tadi tersingkap cukup tinggi.
Dalam gerakan yang sangat-sangat lambat itu, kurasakan sensasi luar biasa dalam diriku. Gejolak dalam hatiku membara. Kurasakan juga Pukan merasakan hal yang sama, entah bagaimana caranya. Gejolak itu terus naik ke otakku, membuatnya overhot, yang membuat darah dalam hidungku mengalir.
Nosebleeding.
Craaaat!
“Aaah, inilah yang kupersembahkan untukmu, Pukan!” kataku yang sudah telentang dengan seringai di tanah. Hidungku penuh darah, membasahi kemejaku, juga Pukan.
“Luar biasa, anak muda! Bahkan kamu membuatku juga berdarah! Ohok ohok ohok,” terdengar suara Pukan yang batuk-batuk.
“Jadi, hadiahku—”
“Mungkin ini wasiatku, anak muda.” Pukan memotong perkataanku. “Jangan pernah menyesali perbuatanmu, nak. Jangan juga menyimpan dendam sepertiku, yang membuat orang tak bersalah menjadi terluka. Ohok ohok.”
“Tunggu, hadiahku—”
“Kalau begitu, selamat tinggal.” Glek. Kurasakan Pukan tak lagi bernyawa seperti tadi.
Aku mendadak bangkit. Tak peduli darahku yang masih mengalir. “Pukan, tunggu. Bagaimana hadiahku? Pukan? Pukan? Puuukaaaaan!”
ads

Reading your manga Pulpen Kutukan, If you want to distribute the above article please include source https://tetsu-kun15.blogspot.com/2014/08/pulpen-kutukan.html, thanks for visit my blog